Oleh karena itu, ia mendorong program swasembada pangan dikaitkan dengan reformasi agraria. Pemanfaatan lahan ini juga bisa digunakan atau diberikan kepada petani-petani di sekitar lahan hutan, areal hutan yang kita jadikan objek lahan swasembada pangan yang akan diterbitkan TORA.
"Singkatnya, swasembada pangan tak hanya melibatkan korporasi, tapi juga dilakukan oleh masyarakat. Mereka (masyarakat) juga punya lahan baru dari hasil dari hutan program swasembada pangan," terangnya.
Baca Juga:
Polemik Debat Pilkada Pakpak Bharat: KPUD Diduga Tak Transparan dan Berpotensi Rusak Demokrasi
Selain itu, Rahmat juga mendorong penuntasan mafia tanah tak sekedar berakhir dengan pencabutan hak tanah ataupun tindakan tegas terhadap oknum, termasuk di internal BPN belaka.
Tanpa adanya tindakan hukum sebagai efek jera, Rahmat khawatir upaya 'jihad' dilakukan Menteri Nusron Wahid untuk mewujudkan reforma agraria tak akan maksimal.
Hal lain yang tak kalah penting diingatkan Rahmat adalah transparansi, sehingga publik tak bertanya-tanya dan membuat isu dalam persoalan agraria menjadi liar.
Baca Juga:
Pj Gubernur Sultra Hadiri Rakornas Pemerintah Pusat dan Daerah 2024 di Bogor
Salah satu contoh kasus yang harus benar-benar dibuka kepada publik, lanjut Rahmat, adalah kelanjutan penanganan pagar laut di Tangerang, Banten.
Ia menekankan hal itu, menanggapi pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid yang sebelumnya mengungkapkan telah mencabut 50 sertifikat tanah yang berada di kawasan pagar laut di perairan Tangerang, Banten. Sertifikat dibatalkan itu terdiri atas 47 HGB dan 3 SHM.
Jumlah itu disebutkan Nusron kemungkinan besar akan bertambah, mengingat pengecekan masih dilakukan terhadap ratusan sertifikat tanah lainnya.