Yang perlu digaris bawahi, kata dia adalah keprihatinan Megawati tersebut landasannya sama dengan keprihatinan Puan dulu.
"Semua latar belakangnya sama, yakni keprihatinan seorang anak kemenakan Minangkabau terhadap kondisi di kampungnya Sumatera Barat," lanjut Dian.
Baca Juga:
PLN Operasikan Smart Microgrid Nusa Penida, Pulau Wisata Kini Jadi Pionir Energi Hijau Digital
Dian kemudian menyebut bahwa yang dilontarkan Mega tentang Sumbar tersebut, menurutnya tertuju pada Minangkabau-nya.
"Megawati memang tidak menyebut Minangkabau, tapi saya lebih melihat tarikannya ke Minangkabau sebenarnya, jadi yang sepi itu Minangkabau-nya," imbuh dia.
Selanjutnya ia menilai bahwa korelasi dari pernyataan Megawati itu pada dasarnya karena merasa sebagai orang minang yang prihatin dengan kondisi kampungnya.
Baca Juga:
Transformasi Sukses: PLN Raih Predikat Tempat Kerja Terbaik dari Great Place to Work Indonesia
Apalagi kata dia, melihat peran ninik mamak yang tergerus oleh terkurungnya adat minang dalam hukum positif di Indonesia secara legal formal, yakni adanya UU Desa, UU Otonomi daerah.
"Dua UU itu membuat peran ninik mamak menjadi berkurang terkait proses musyawarah dan mufakat dalam memilih pemimpin," ucap dia.
Ia berasumsi, selain karena legal formal tersebut, liberalisme, konsumerisme, hedonisme sudah masuk ke sendi-sendi dasar masyarakat sehingga peran ninik mamak semakin tergerus.