WahanaNews-Sumbar | Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkap seberapa besar potensi Indonesia mengekspor keperluan listrik hijau atau energi baru terbarukan (EBT) ke Singapura.
Potensi pasokan EBT di Indonesia sendiri disebut sangat besar secara nasional hingga 3.600 sampai 3.700 giga watt.
Baca Juga:
RI Diam-diam Impor Nikel dari Negara Tetangga, Ini Kata Kemeterian ESDM
"Keperluan listrik kita di 2060 untuk 40 tahun ke depan 700 megawatt. Kalau ditanya seberapa besar berapa ekspor, selisihnya kita punyanya 3.600 tapi butuhnya 700. Tetapi angkanya tidak bisa dikurangkan langsung karena yang kita butuhkan bukan megawatt, tetapi satuan listrik dalam satuan kWh. Tetapi secara besar kita punya potensi yang besar, (ekspor) ke Singapura," kata Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE ) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, dalam acara Mempercepat Penurunan Emisi, Meraih Devisa, Senin (17/10/2022).
Dandan juga membenarkan bahwa ekspor listrik hijau ke Singapura bisa melalui kabel di bawah laut dari titik pulau terdekat ke Singapura. Ia juga mengatakan sumbernya bukan hanya di Batam, tetapi juga bisa dari pulau Sumatera. Meski besar, Dandan mengatakan potensi ekspor EBT ke negara tetangga bukan untuk waktu dekat ini.
"Kan sumber panas bumi dan hidro banyak di sana. Ini perkiraannya bukan tahun depan. Saya rasa Singapura juga tidak berpikiran tahun depan seperti apa, prosesnya jangka panjang, untuk memastikan bahwa mendapatkan listrik bersih dan handal. Dan Indonesia juga punya keinginan yang sama," jelasnya.
Baca Juga:
Pertumbuhan Tinggi, Dirjen ESDM: Masalah Over Supply Listrik di Jawa-Bali Akan Teratasi
Indonesia sendiri, juga memiliki target untuk penggunaan EBT 23% di 2025. Maka dari itu, pemerintah sendiri tetap akan mendahulukan kebutuhan pasokan EBT di dalam negeri. Walaupun ekspor EBT sendiri tidak dilarang oleh regulasi.
"Secara regulasi bahwa ekspor itu diperbolehkan jadi ekspor boleh dalam regulasi UU Ketenagalistrikan ada syaratnya di dalam negeri terpenuhi dulu tenaga listrik setempat wilayah sekitarnya harus terpenuhi," tuturnya.
Selain masih mengutamakan pasokan di dalam negeri, harus dipastikan tidak boleh ada subsidi untuk EBT yang akan diekspor ke luar negeri. Ketiga, jika mengekspor EBT, harus dipastikan tidak akan mengganggu kebutuhan listrik hijau di dalam negeri.
Dalam kesempatan yang sama, Pengamat/ Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan dua-duanya itu bisa dilakukan. Artinya dua-duanya itu adalah menambah pasokan EBT dalam negeri untuk menggaet investor bisa masuk. Tetapi juga pada saat yang bersamaan bisa membangun fasilitas atau infrastruktur ketenagalistrikan untuk melakukan ekspor.
"Dua-duanya itu bisa dilakukan karena tidak ada constraint sumber daya alam. Kalau kita bicara energi fosil itu ada constraint sumber daya alamnya karena sangat terbatas dan akan habis sekali kita gunakan, kita gali, kita ekspor, kita tidak bisa pakai untuk kebutuhan kita. Tapi namanya energi terbarukan dia selalu renewable dan bahkan kalau kita bilang energi surya yang potensinya sangat besar ini akan terus ada," jelasnya.
Dia menambahkan Indonesia memang bisa mengembangkan dan memenuhi kebutuhan energi terbarukan. Dengan begitu cepat juga bisa mencapai net zero emission di 2050-2060 dengan mengganti BBM dengan listrik. [afs]