TIDAK semua “kapitalis” langsung menjadi besar, bisa jadi sang “kapitalis” lebih cepat meroket naik kelas sehingga mengalahkan pesaing-pesaing di awalnya.
Pelaku usaha tidak selalu percaya dengan faktor “keberuntungan dan ketergantungan” untuk naik kelas.
Baca Juga:
Pemkab Tapteng Terima Opini WDP, Masinton: Ini Menjadi Motivasi untuk Bekerja Lebih Baik
Kerja keras, strategi persaingan, pengelolan micro-management perusahaan dan pumpang-sini, pumpang-sana adalah makanan setiap hari para pengusaha. Mereka berpikir bahwa keberuntungan tergantung kerja keras.
Ada yang cepat naik kelas akan menjadi “kapitalis” dalam arti sempit, yang “lelet” – ketinggalan.
Positively, secara Macro; para kapitalis tak selalu buruk; bisa jadi menjadi “sandaran” para ekonomi lemah. Setidaknya belajar pada pengusaha besar (kapitalis) “on how they win in biz”; menang dalam suatu persaingan bisnis.
Baca Juga:
Sumpah Jabatan: Janji Suci yang Semakin Hampa di Tengah Korupsi yang Merajalela
Koperasi memang hampir tak terdengar tumbuh untuk menjadi “kapitalis”; inilah yang menjadi pertanyaan banyak pihak.
Diyakini pemerintah tentu punya orang-orang ekonomi yang ahli dibidangnya. Tata kelola koperasi terdahulu tentu akan berbeda dengan koperasi merah putih yang sedang dipersiapkan untuk target “kekuatan ekonomi rakyat” dimasa yang akan datang. 80.000 Koperasi Desa Merah Putih akan bergerak di Republik dan 1265 koperasi untuk Sumatera Barat. Everything makes sense; sesuatu yang dikerjakan akan punya arti.
Bisa jadi aturan koperasi mengacu pada perusahaan terbatas (PT) di private sektor; aturannya simple sesuai Akta Perusahaan Terbatas yang kewenangannya diatur dalam satu Akta.
Perlukah diatur dalam suatu Undang-undang seperti Undang-undang Koperasi terdahulu yang “gelap” ? Campur tangan pemerintah dibutuhkan untuk membuat koperasi Naik kelas; Koperasi Merah Putih.
Semua kita serahkah pada ahlinya di Republik ini. (*)
Just do it for – “do-it” (duit).
Artikel ini sudah tayang di hatipena.com
hatipena.com/artikel-opini/kapitalisme-sebuah-opini/